Selamat datang di Islam And Muslim Blog, tempat kita untuk saling berbagi dan belajar bersama serta mengenal lebih dalam tentang Islam

Minggu, 22 Agustus 2010

Mengenal Ahlus Sunnah wal Jama’ah

“Pada hari ini telah aku sempurnakan bagi kamu Agama kamu.” (Al-Maaidah:3)

Didalam ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menegaskan bahwa agama ini (Islam) sudah sempurna dan lengkap. Oleh sebab itu agama ini tidak membutuhkan tambahan ataupun pengurangan dalam mengikuti manhaj rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam dalam beraqidah ataupun beragama, yang kemudian dapat menyebabkan perpecahan ditubuh umat Islam.
 
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyebutkan bahwa ikhtilaf (perbedaan) adalah suatu hal yang pasti, tidak mungkin dipungkiri. Karena ia adalah sunnatullah yang akan selalu terjadi pada setiap ummat dan seluruh manusia. Namun karena rahmat Allah, ada di antara para hamba-Nya yang tidak berselisih dan ada yang melakukan perselisihan namun tidak sampai pada taraf iftiraq (perpecahan) yang berakibat mendapatkan celaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

“Jika Rabbmu menghendaki, tentu ia menjadikan umat manusia umat yang satu, tetapi mereka selalu berselisih pendapat, kecuali orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu.” (Hud:118)

Karena hal itu, maka perlu bagi kita untuk mengetahui metode yang benar dalam memahami syariat Islam pada umumnya dan prinsip-prinsip aqidah khususnya agar tidak terjerumus pada pemahaman yang salah yang pada akhirnya membawa pelaksanaan yang salah pula dalam beraqidah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali Imran:103)

Dari Auf bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata: “ Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda: “Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, satu di surga dan tujuh puluh di neraka. Kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, tujuh puluh satu di neraka dan satu di surga. Dan demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu di surga dan tujuh puluh dua di neraka. Ditanyakan: “Wahai Rasulullah, siapakah mereka?” Beliau bersabda: “Al Jama’ah.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, lafadz dari riwayat Ibnu Majah, Kitab Al Fitan no.3982)

Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam menamakan “Jama’ah” , yaitu jama’ah para shahabat. Yang di dalam riwayat Tirmidzi dan Hakim Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam menegaskan bahwa golongan yang selamat itu disebutkan dengan lafazh: Maa Ana ‘alaihi wa Ashaabi (Yang mereka mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku) (HR. Tirmidzi, Kitab Al Iman no.2565, Hakim Juz I hal 128)

Kata Jama’ah berarti orang-orang yang berkumpul. Tapi yang dimaksud dengan jama’ah dalam terminologi syari’at Islam (khususnya dalam hadits yang disebutkan di atas) adalah Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam, para sahabatnya, para tabi’in, dan semua generasi yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam telah ditanya tentang siapakah yang termasuk ‘golongan yang selamat’. Maka beliau terkadang menjawab : “Yang mereka mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku”, tapi di lain waktu beliau menjawab: “Al Jama’ah.”

Ibnu Mas’ud radhiyallahu anh berkata: “Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran meski engkau sendirian.” (1)

Al Laalikai juga berkata, “Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah meski engkau sendirian.” (2)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan kelanjutan dari jalan hidup rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam dan para sahabatnya. Kalaupun bangkit seorang imam –pada zaman fitnah dan keterasingan ahlus sunnah- yang menyeru manusia kepada aqidah yang benar dan memerangi pendapat yang menentangnya, maka ia tidaklah membawa sesuatu yang baru. Ia hanya memperbaharui mahdzab Ahlus Sunnah yang sudah usang dan menghidupkan ajaran yang sudah terkubur. Sebab aqidah dan sistemnya (manhaj) walau bagaimanapun tak akan pernah berubah.

Dan jika pada suatu masa atau disuatu tempat terjadi penisbatan madzhab Ahlus Sunnah terhadap seorang ulama atau mujaddid (pembaharu), maka hal itu bukan karena ulama tersebut telah menciptakan sesuatu yang baru atau mengada-ada. Pertimbangannya semata-mata karena ia selalu menyerukan manusia agar kembali kepada As Sunnah.

Dengan demikian maka yang dimaksud “Ahlus Sunnah wal Jama’ah” sebagai kata ganti majemuk adalah orang-orang yang mengikuti aqidah Islam yang benar, komitmen dengan manhaj Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersama para sahabat, tabi’in, dan semua generasi yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang hidup di antara kamu sesudahku (yakni sepeninggalku), niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kamu berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin(1). Berpeganglah dengannya dan gigitlah dengan gigi gerahammu!
Dan jauhilah olehmu segala urusan yang baru/muhdats! Karena sesungguhnya setiap urusan yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Darimi, Hakim dan lain-lain dari hadits Irbadl bin Sariyah).

Para ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Imam Al Isfirayaini menyebutkan bahwa dinamakan Ahlus Sunnah karena mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam. Nama tersebut sebagai pembeda dari firqah-firqah sesat yang menyimpang dari apa yang telah dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam. Allahu a’lam.

Footnote:
1.Manhajul istidlal ‘ala masail I’tiqad ‘inda ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 38-39
2.Syarh Ushulil I’tiqad ahlis Sunnah wal Jama’ah I/109
3.Mereka adalah: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali

Sumber:
1.Dirasatul Firaq, Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Aly. Pustaka Arafah
2.Risalah Bid’ah

= Ummu 'Abbas =
www.geocities.com/buletin_ti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar