Selamat datang di Islam And Muslim Blog, tempat kita untuk saling berbagi dan belajar bersama serta mengenal lebih dalam tentang Islam

Minggu, 22 Agustus 2010

SIKAP AHLUSSUNNAH TERHADAP KESALAHAN ULAMA 1/2

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2


Sepeninggal Rasulullah tidak ada seorangpun yang ma’sum (terbebas dari kesalahan). Begitu pula orang alim ; dia pun tidak akan lepas dari kesalahan. Seseorang yang terjatuh dalam kesalahan, janganlah kesalahannya itu digunakan untuk menjatuhkan dirinya. Dan tidak boleh kesalahannya itu menjadi sarana untuk membuka kejelekannya yang lain dan melakukan tahdzir [1] terhadapnya. Seharusnya kesalahannya yang sedikit itu dima’afkan dengan banyaknya kebenaran yang dia miliki. Apabila ada ulama yang telah meninggal ternyata salah pendapatnya, maka hendaknya kita tetap memanfaatkan ilmunya, tetapi jangan mengikuti pendapatnya yang salah, dan tetap mendo’akan serta mengharap kepada Allah agar mencurahkan rahmat kepadanya. Adapun bila orang yang pendapatnya salah itu masih hidup, apakah dia seorang ulama atau sekedar penuntut ilmu, maka kita ingatkan kesalahannya itu dengan lembut dengan harapan dia bisa mengetahui kesalahannya sehingga dia kembali kepada kebenaran.

Ulama yang telah wafat yang memiliki kesalah dalam masalah akidah adalah Al-Baihaqi, An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani. Meskipun demikian, ulama dan para penuntut ilmu tetap memanfaatkan ilmunya. Bahkan, karya-karyanya menjadi rujukan penting bagi orang-orang yang bergelut dalam bidang ilmu-ilmu agama.

Tentang Al-Baihaqi, Adz-Dzahabi memberi komentar dalam kitab As-Siyar (XVIII/163 dan seterusnya), Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah seorang penghafal hadits, sangat tinggi ilmunya, teguh pendirian, ahli hukum dan tuan guru umat Islam”.

Adz-Dzahabi menambahkan, “Beliau adalah orang diberkahi ilmunya, dan mempunyai karya-karya yang bermanfaat”. Ditambahkan pula, “Beliau pergi ke luar dari negerinya dalam rangka mengumpulkan hadits dan membuat karya tulis. Beliau mengarang kitab As-Sunan Al-Kubra dalam sepuluh jilid. Tidak ada orang yang menandingi beliau”.

Adz-Dzahabi juga menyebutkan bahwa Al-Baihaqi memiliki karya-karya tulisan lainnya yang sangat banyak. Kitabnya As-Sunan Al-Kubra telah dicetak dalam sepuluh jilid tebal. Dia menukil perkataan Al-Hafizh Abdul Ghafir bin Ismail tentang Al-Baihaqi. Katanya , “Karya-karya beliau hampir mencapai seribu juz (jilid). Suatu prestasi yang belum ada serorangpun yang menandingi. Beliau membuat metode penggabungan ilmu hadits dan fikih, penjelasan tentang sebab-sebab cacatnya sebuah hadits, serta cara menggabungkan antara hadits yang terlihat saling bertentangan”.

Imam Adz-Dzahabi juga berkata, “Karya-karya Al-Baihaqi sangat besar nilainya, sangat luas fedahnya. Amat sedikit orang yang mampu mempunyai karya tulis seperti beliau. Sudah selayaknya para ulama memperhatikan karya-karya beliau, terutama kitabnya yang berjudul As-Sunan Al-Kubra”.

Adapun tentang An-Nawawi, Adz-Dzahabi mengomentarinya dalam kitab Tadzkirah Al-Huffaz (IV/259). Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah seorang imam, penghafal hadits yang ulung, teladan bagi ummat, tuan guru umat Islam, dan penghulu para wali. Beliau memiliki karya-karya yang bermanfaat”.

Ditambahkan pula, “Beliau juga seorang yang bersungguh-sungguh dalam memegang teguh agamanya, sangat menjaga sifat wara’ dan sangat berhati-hati sampai pada perkara yang remeh sekalipun, selalu membersihkan jiwa dari noda dan kotoran. Beliau adalah seorang penghapal hadits dan ahli dalam segala cabang-cabang ilmu hadits ; ilmu tentang periwayatan hadits, ilmu untuk mengetahui hadits yang shahih dan yang dha’f ; begitu juga ilmu tentang cacat-cacat hadits. Beliau juga seorang tokoh terkemuka yang mengetahui madzhab (Syafi’i)”.

Ibnu Katsir mengatakan dalam Al-Bidayah Wa An-Nihayah(XVII/540), “Kemudian beliau memfokuskan perhatian kepada tulis menulis. Banyak karya tulis yang telah dibuat beliau. Karya-karya beliau ada yang sudah selesai dan utuh, namun ada pula yan belum. Karya-karya beliau yang sudah selesai dan utuh diantaranya : Syarah Musli, Ar-Raudah, Al-Minhaj, Riyadush Shalihin, Al-Adzkar, At-Tibyan, Tahrir At-Tanbih wa Tashhihih, Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat, Thabaqat Al-Fuqaha dan yang lain-lain. Adapun kitab-kitab beliau yang belum selesai penulisannya di antaranya adalah kitab Syarah Al-Muhadzdzab yang dinamakan Al-Majmu’. Kitab ini seandainya bisa beliau selesaikan niscaya menjadi kitab yang tiada bandingnya. Pembasahan kitab ini baru sampai pada bab riba. Beliau menulis kitab tersebut dengan sangat baik. Dibahasnya di kitab tersebut masalah fikih yang ada dalam madzhabnya maupun yang di luar madzhabnya. Beliau juga membahas hadits-hadits sebagaimana mestinya ; diterangkan di situ kata-kata yang sulit (asing), tinjauan-tinjauan bahasa, serta berbagai hal penting lainnya yang tidak ditemukan dalam kitab lainnya. Belum pernah saya menemukan pembahasan kitab fiqih sebagus kitab tersebut, sekalipun kitab tersebut masih perlu banyak penambahan dan penyempurnaan”.

Walaupun karya-karya beliau sangat banyak, namun umur beliau cukup muda. Beliau hidup hanya sampai umur empat puluh lima tahun. Beliau lahir pada tahun 631H dan wafat pada tahun 676H.

Adapun Ibnu Hajar Al-Asqalani, beliau adalah seorang imam yang masyhur dengan karya-karyanya yang banyak. Karya beliau yang terpenting adalah kitab Fathul Bari yang merupakan kitab syarah (penjelasan) dari kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab tersebut menjadi kitab rujukan yang penting bagi para ulama. Kitab-kitab beliau yang lain adalah Al-Ishabah, Tahdzib At Tahdzib, Taqrib At Tahdzib, Lisan Al Mizan, Ta’jil Al Manfa’ah, Bulughul Maram, dan lain-lain.

Di antara ulama dewasa ini (yang tergelincir dalam kesalahan) adalah Syaikh Al’Alamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani ; Beliau adalah seorang pakar hadits. Tak ada seorang pun yang menandingi beliau dalam hal perhatiannya terhadap ilmu hadits. Beliau terjatuh dalam kesalahan dalam beberapa perkara menurut kebanyakan ulama. Di antara kesalahan beliau adalah pendapatnya dalam masalah hijab. Beliau berpendapat bahwa menutup wajah bagi wanita bukanlah sauatu kewajiban, tetapi sunnah saja. Dalam perkara ini, kalau pun yang beliau katakana benar, akan tetapi kebenaran tersebut dikatagorikan sebagai kebenaran yang selayaknya disembunyikan[2], karena akibatnya akan banyaka wanita yang meremehkan masalah menutup wajah. Begitu pula perkataan beliau dalam kitab Shifat Shalat Nabi, “Sesungguhnya meletakkan kedua tangan di atas dada pada saat I’tidal (berdiris setelah bangkit dari ruku’) adalah termasuk bid’ah yang sesat”, padahal masalah tersebut termasuk permasalahan yang diperselisihkan. Begitu pula perkataan yang beliau sebutkan dalam kitab Silsilah Adh-Dhaifah hadits no. 2355 bahwa tidak memotong jenggot yang melebihi satu genggaman adalah termasuk bid’ah idhafiyah. Begitu pula pendapat beliau yang mengharamkan emas melingkar bagi seorang wanita [3].

Akan tetapi, meskipun saya meningkari beberapa pendapat beliau di atas, saya begitu juga yang lainnya, tetap mengambil buku-buku beliau sebagai rujukan. Alangkah bagusnya perkataan Imam Malik, “Semua orang bisa diambil atau ditolak ucpannya kecuali pemilik kubur ini” Beliau mengisyaratkan ke kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Penjelasan di atas memberikan gambaran bagaimana para ulama memberikan maaf (toleransi) kepada ulama lain yang terjatuh dalam kesalahan. Pemberian ma’af tersebut mereka berikan karena banyak kebenaran yang dimiliki ulama tersebut.

[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir & Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Bad, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]
_________
Foote Note
[1] Peringatan kepada khalayak agar menjauhi seseorang. Biasanya dengan mebeberkan aib dan kesalahan orang tersebut. –pent.
[2]. Sebagai bandingan, dalam kitabnya yang berjudul Jilbab Mar'ah Muslimah Penerbit Dar As-Salam Tahun 2002 pada halaman 27. Syaikh Al-Bani membantah orang-orang yang berpendapat seperti itu. Beliau mengatakan bahwa hokum syar'i yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah tidak boleh disembunyikan dengan alasan nanti akan terjadi kerusakan zaman atau alasan lainnya. Beliau tunjukkan di sana dalil-dalil yang mendasarinya. –ed.
[3]. Sebagai perbnadingan dalam kitab Adab Az-Zifaf Penerbita Dar As-Salam cetakan Pertama halaman 222 dst, Syaikh Al-Abani mengharamkan wanita memakai perhiasan emas melingkar dan membantah orang-orang yang menghalalkannya. –ed.



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=833&bagian=0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar