Selamat datang di Islam And Muslim Blog, tempat kita untuk saling berbagi dan belajar bersama serta mengenal lebih dalam tentang Islam

Kamis, 23 September 2010

Memilih Sekolahan & Pendidikan Anak

Menjelang tahun ajaran baru, banyak orang tua yang sejak awal mencari-cari tahu, mana sekolah dan perguruan tinggi yang baik untuk anak-anaknya. Ada yang bertanya-tanya kepada sanak saudara, handai taulan, dan kenalan. Ada yang membuka-buka halaman iklan di majalah, koran, dan sebagainya. Ada juga yang bertanya kepada dukun, walau sudah diberitahu oleh para da’I bahwa bertanya ke dukun itu haram, bahkan shalatnya tak diterima selama 40 hari.. Iklan-iklan pun bermunculan di mana-mana. Ada yang lewat media cetak formal, media elektronik, dan ada yang lewat slebaran. Bahkan spanduk, pamflet dan brosur-brosur disodorkan kepada masyarakat secara beramai-ramai di sana-sini. Semuanya menjanjikan ini dan itu, serba bagus, serba baik, serba tidak sesat, walau mungkin sekali justru punya misi penyesatan, dan menjerumuskan ke neraka.

Para orang tua masa kini tampaknya ditarik dari arah sana-sini untuk menyerahkan anak-anaknya ke sekolah yang diiklankan di mana-mana. Dari yang paling kecil untuk masuk TK Nol Kecil, Nol Besar, SD/ Madrasah, SMP/ Tsanawiyah, SMA/ Aliyah, D2,D3, S1, S2, sampai yang paling tua ke S3; semuanya diiming-imingi kemudahan, fasilitas, dan jaminan mutu plus tidak sesat. Kata-kata “tidak sesat” memang tidak ditulis, tidak diucapkan, tetapi yang jelas semuanya tidak ada yang mengakui kesesatannya. Padahal, betapa banyak orang tua yang sudah capai-capai menyekolahkan anaknya, misalnya ke Ma’had Al-Zaitun di Indramayu Jawa Barat, ternyata harus menyesal dan mencabut kembali anaknya, karena adanya perubahan sikap anaknya yang ogah shalat berjama’ah, melawan ajaran Islam yang dulunya diajarkan orang tua sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan semacamnya. Karena memang Ma’had Al-Zaitun itu jelas didirikan oleh kelompok yang fahamnya menyimpang lagi sesat. (Lihat buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002).

Penyesatan dan Pemurtadan

Ada orang tua yang menjadi bangga tapi kebanggaan yang tidak pada tempatnya, setelah menyekolahkan anaknya kemudian anaknya menawar kepada bapaknya untuk pilih masuk Kristen saja. Ketika ayahnya menanyakannya, anak itu menjawab, di sekolahnya SD Paramadina di Pinggiran Jakarta menampilkan sinterklas (salah satu simbol di Kristen) yang lucu. Sedang di Islam, mboseni (membosankan), alasannya, karena bedugnya brisik, dalam penampilan di sekolah itu. Salah satu orang tua yang bangga dengan anaknya yang ingin murtad itu adalah Ade Armando yang suka menulis di koran Republika, bahkan mengharapkan agar sekolah model (pemurtadan) itu dijadikan percontohan.

Di samping iklan-iklan serta tulisan dan ocehan yang model-model membanggakan pemurtadan semacam itu, orang tua masih secara gencar dijerumuskan oleh penulis-penulis yang tidak bertanggung jawab dari segi keimanan umat Islam. Mereka gencar menyuarakan pemurtadan dengan cara-cara licik, di antaranya ditulis di kolom-kolom surat kabar kristenisasi, misalnya Kompas. Sering sekali penulis yang mengaku Islam, bahkan mengajar di perguruan tinggi Islam menjajakan tulisan yang berisi pemurtadan. Misalnya menggencarkan pemahaman pluralisme agama, menganggap semua agama sama, sejajar, paralel, masuk surga semua, hanya beda teknis. Lalu mereka membujuk para penyelenggara pendidikan, agar pendidikan agama di sekolah diubah menjadi teologi pluralitas, yang dalam bahasa gampangnya adalah pemurtadan. Dengan nyinyirnya mereka menjerumuskan para penyelenggara pendidikan dan para orang tua untuk mengikhlaskan anak-anaknya supaya ke neraka.

Lain lagi golongan-golongan yang sesat lagi menyesatkan. Mereka pandai membuat istilah-istilah, slogan-slogan, bahkan nama-nama yang menarik dan bisa membungkus kesesatannya. Ahmadiyah misalnya, menamakan markasnya dengan “Al-Mubarok” yang artinya “yang diberkahi” di Parung, pinggir Jakarta-Bogor. Kemudian Ahmadiyah lainnya membuat nama sekolahnya dengan nama PIRI (Perguruan Islam Republik Indonesia).

Nama-nama yang nampak “Islami” memang tampaknya merupakan salah satu jalan untuk mengelabui masyarakat. Jaringan Islam Liberal (JIL) pun membuat slogan, “Islam yang membebaskan”, seakan Islam yang benar, yang anti pemurtadan adalah membelenggu. Syukurlah istilah itu ditimpa istilah baru lagi dengan website tandingan yang slogannya, “Islam yang membebaskan dari sistem kekufuran”.

Permainan nama untuk memasarkan diri sambil menutupi kesesatannya, rupanya ada biangnya, yaitu LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Tadinya bernama Lemkari yang dilarang karena kesesatannya, setelah ganti nama dari Darul Hadits dan Islam Jama’ah yang semuanya itu adalah dilarang pemerintah. Akhirnya mereka memilih ganti nama dengan LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Padahal justru sebenarnya adalah lembaga propaganda pengkafiran terhadap umat Islam. Karena setiap orang Islam yang bukan golongan LDII mereka anggap sebagai kafir dan najis. Mereka ini juga mendirikan pesantren, tentu saja meraih anak didik dari para orang tua. Kalau sampai orang tua memasukkan anaknya ke pesantren LDII atau membolehkan anaknya ikut pengajian LDII, maka resikonya, apabila orang tua tidak mau ikut masuk ke LDII maka dianggap najis pula oleh anaknya itu. Dan ketika orang tua itu meninggal dunia, maka si anak tidak akan mau mensholatinya. Kalau toh mau mensholatinya, maka tanpa wudhu sebelumnya, disengaja memang hanya untuk pura-pura mensholati.

Ahmadiyah ataupun LDII sama-sama mengkafirkan orang Muslim, hingga wanita Ahmadiyah atau LDII tidak boleh dinikahi oleh orang Islam (yang bukan golongan mereka). Ini pada hakekatnya adalah membuat syari’at baru, kedudukannya sama dengan nabi palsu, Musailamah Al-Kaddzab yang diserang oleh Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq dengan 10.000 tentara, hingga nabi palsu itu tewas. .

Sekolah-sekolah lain yang tampaknya tidak sesat pun masing-masing punya misi. Ada misi yang masih dalam kebenaran, dan ada pula yang sudah tidak mempedulikan kebenaran. Kalau sekolah itu berlabel Islam, atau dari oraganisasi Islam, atau di bawah lembaga Islam pun, setelah diketahui bahwa itu tidak termasuk dalam aliran sesat, masih perlu dilihat pula.. Apakah mereka itu teguh dalam mendidik murid-murid/ mahasiswanya dengan Islam yang benar. Apakah memang diterapkan shalat berjama’ah, berpakaian muslim/ muslimah, dijaga pergaulan antara lelaki dan perempuan, atau tidak. Kalau satu sekolah/ pesantren/ perguruan tinggi sudah ragu-ragu dalam menerapkan peraturan tentang pakaian muslim/ muslimah, itu pertanda misi Islamnya setengah-setengah. Dalih apapun yang mereka kemukakan, sudah bisa dibaca bahwa Islam dianggap lebih rendah dibanding duit dan semacamnya. Walaupun itu sekolah unggulan, terkemuka, dan sangat banyak muridnya, namun itu jelas mendidik untuk ragu-ragu, bahkan agar munafik dalam berislam. Biar dari luar masih digolongkan Islam, namun tidak disebut fanatik oleh orang yang anti Islam. Begitulah kira-kira arah kemunafikannya.

Sekolah-sekolah negeri/umum yang memang justru sebagian pengelolanya ada yang menggunakan kesempatan untuk memusuhi Islam, selayaknya tidak laku di negeri Muslim ini. Sekolah-sekolah negeri/ umum sekarang sudah banyak yang kalah bersaing dengan sekolah-sekolah swasta. Apabila sekolah negeri/ umum tidak memenuhi tuntutan masyarakat yang menginginkan pendidikan yang Islami, maka kemungkinan besar akan makin ditinggalkan oleh masyarakat. Mereka akan lebih pilih sekolah swasta walaupun mungkin biaya lebih tinggi, asal lebih Islami, pergaulan lelaki perempuan tidak bebas, tidak tawuran, tidak terkena narkoba, dan tidak jadi preman-preman berbaju sekolah.

Dilema menyekolahkan anak masa kini, misalnya orang tua menguliahkan anaknya ke perguruan tinggi Islam yaitu UIN, IAIN, STAIN atau STAIS; mereka menginginkan anaknya agar jadi ulama yang sholih atau sholihah, tahu-tahu kadang (dan tidak sedikit dijumpai) justru jadi pentolan aliran sesat, atau justru jadi liberal, mementingkan filsafat, dan oke-oke saja untuk maju bersama dengan barisan pemurtadan. Sedang yang ingin anaknya agar jadi ilmuwan yang tangguh dengan disekolahkan kemudian dikuliahkan ke perguruan tinggi umum, kalau salah dalam memilih sekolahan dan perguruan tinggi, tahu-tahu terpengaruh oleh kebiasaan tawuran, terkena narkoba, pergaulan bebas lelaki perempuan, dan jauh dari agama, bahkan anti Islam.

Berupaya memilih tempat pendidikan anak yang terbebas dari kesesatan, kemunafikan, kemunkaran, dan pergaulan bebas, adalah wajib bagi para orang tua yang akan menyekolahkan anak-anaknya. Di samping itu perlu disertai do’a, bermunajat kepada Allah SWT, agar ditunjuki jalan yang benar dan diridhoi-Nya. Kalau tidak, maka berarti orang tua pada hakekatnya adalah membiarkan anaknya untuk diyahudikan atau dinasranikan atas biaya dari orang tua itu sendiri. Betapa ruginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar